Pantun Bunga bagian 17

Rumah jadi belum berpagar,

Rumah milik sultan Maruhum.

Tidakkah tuan ada mendengar,

Hamba sakit berobat belum.

Ketupat di belah empat,

Digantung di sudut peti.

Luka sedikit hingga jangat,

Sakitnya lalu ke lubuk hati.

Anak orang Kubu Kerambil,

Hendak pergi ke Pitalah.

Kalau memang buah akan diambil,

Dahan dan usah tuan patah.

Putus jembatan batang Sikumbang,

Tampak nan dari padang Kunyit.

Tuan ada untuk perintang,

Hamba tinggal dengan penyakit.

Batang Sinurut dan Lubuk Bangku,

Batang Umbilin rang renangi.

Tidak diturut seperti itu,

Bagai bunga kembang tak jadi.

class="MsoNormal" style="margin-left: 243.0pt; tab-stops: 9.0pt;"> Jika jelas jalan ke pulang,

Tidak kusingah ke Mata Angin.

Jika kutahu ‘kan mabuk seorang,

Biar kucari ganti yang lain.

Telah kucoba ke Payukumbuh,

Sesaat jalan ke kayu ara.

Telah kucoba menghilangkan rusuh,

Tuan seorang terkenang jua.

Biduk laju menantang ombak,

Layar terkembang menantang angin.

Nahkoda ingat air bersibak,

Pedoman npegang lahir dan bathin.

Orang melayu bersepak raga,

Sudah adat sejak dahulu.

Walau lahir tampak di mata,

Yang bathin simpan dalam itu.

Ramai pasarnya Kuraitaji,

Dalam daerah Pariaman.

Bergelut benang dalam sekoci,

Minta bertemu dalam jahitan.

Masaklah buah kacang pagar,

Dibawa orang ke Bamukampu.

Jika benar cerdik memagar,

Dalam elok buruk tak lalu.

La ela pupuk angsana,

Rama-rama tebing tinggi.

Oh angina hamba bertanya,

Kemana adikku tadi.

Rumah jadi belum berpagar,

Rumah milik sultan Maruhum.

Tidakkah tuan ada mendegar,

Hamba sakit berobat belum.

Ketupat dibelah empat,

Digantung di sudut peti.

Luka sedikit hingga jangat,

Sakitnya lalu ke lubuk hati.

Kata benar tempat percaya,

Tali kuat tempat bergantung.

Jika dapat kata seiya,

Menyerah saja pada untung.

Selindit bermandi embun,

Hinggap diranting kayu ara.

Kami tutup buku berpantun,

Di lain hari disambung pula.