Citra Anak Idaman dalam Budaya Melayu - Tutorial Online

Breaking

Friday, 7 October 2016

Citra Anak Idaman dalam Budaya Melayu


Asslamuallaikum wr,wb sahabat

Apakabarnya?

Semoga dalam keadaan sehat dan dalam lindungan ALLAH SWT.

Masih mengenai anak Melayu yang keren, begitu besar peran orang tua terhadap anak-anaknya, bukan di orang Melayu saja, pasti di suku-suku se Indonesia melakukan hal yang terbaik untuk anak-anaknya agar menjadi yang terbaik namun disini saya lebih dahulu membahas Tentang Orang Melayu karena apa? Disini lah kampung halaman ku. Tercinta………….berikut ulasannya

Anak yang diidam-idamkan orang Melayu, ialah anak yang menjadi “orang” yakni menjadi manusia yakni menjadi manusia yang sempurna lahiriah dan batiniahnya. Kesempurnaan itu tentulah relatif, sebab itu orang Melayu membuat membuat acuan yang disebut “Pakaian yang Delapan Belas” atau “sifat yang Delapan Belas”. Sepanjang di dalam diri seorang anak melekat nilai-nilai luhur yang ada di dalam acuan ini, maka anak itu dapat dan patut disebut menjadi “orang” yang sempurna lahiriah dan batiniahnya itu.
Yang dimaksud dengan “Pakaian yang Delapan Belas” atau “SIfat yang Delapan Belas” itu ialah:

ü  “Sifat tahu asal berkejadian”, yakni beragama, berilmu dalam agamanya, taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta kokoh dengan amal ibadahnya.

Di dalam ungkapan disebut:

“Tahu ka nasal kejadian
  Tahu kan hidup kesudahan
  Hamba tahu akan tuannya
  Makhluk tahu akan Khaliknya”

“Yang agama berkokohkan
  Yang iman berteguhkan
  Yang sujud berkenalan
  Yang amal berkepanjangan”

ü  “Sifat tahu membayar hutang”, yakni membalas guna, mengenang budi dan kebaikan orang, berbakti kepada kedua orang tua, kaum kerabat, bangsa dan Negara.

Didalam ungkapan disebut:

“Tahu kan perih ibu mengandung
  Tahu kan pahit ayah mendukung
  Tahu kan sakit membesarkannya
  Tahu kan hutang yang dibebannya
  Tahu kan belas kasihan orang
  Tahu kan bela pelihara orang
  Tahu kan budi baik orang
  Tahu budi dan hutangnya
  Tahu hidup ada bebannya”

ü  “Sifat tahu kan bodoh diri”, yakni menyadari kebodohan dan kekurangan diri sendiri, mencintai ilmu dan kelebihan orang lain.

Di dalam ungkapan disebut:

“Tahu kan kurang dari lebihnya
  Tahu kan cacat dari eloknya
  Tahu kan bodoh diri awak
  Tahu kan bekal belum banyak
  Tahu ke atas belum berpucuk
  Tahu ke bawah belum berakar
  Tahu di tengah belum berbatang
  Dalam duduk, duduk berguru
  Dalam tegak, tegak bertanya
  Dalam merantau mencari guru
  Dalam berdagang mencari ilmu
  Dalam diam, diam berisi
  Dalam cakap, cakap mengaji
  Yang lebih dilebihkan juga
  Yang tinggi ditinggikan juga
  Yang patut dipatutkan juga
  Yang dahulu didahulukan juga
  Yang tua dituakan juga”

ü  “Sifat tahu diri”, yakni menyadari sepenuhnya hakekat hidup di dunia dan di akhirat, menyadari siapa dirrinya, menyadari siapa diri, untuk apa hidup di dunia, dan kemana akhir hidupnya.

Di dalam ungkapan disebut:

“Tahu diri dengan perinya
  Tahu hidup dengan matinya
  Tahu marwah dengan tuahnya
  Tahu alur dengan patutnya
  Tahu sanggam dengan singitnya
  Tahu sifat dengan kiatnya
  Tahu gelenggang tempat bermain
  Tahu pangkalan tempat berlabuh
  Tahu teluk timbunan kapar
  Tahu tanjung pumpunan angin
  Tahu pasang menyentak naik
  Tahu surut menyentak turun
  Tahu rumah ada adatnya
  Tahu tepian ada bahasanya
  Tahu nasib berketepatn
  Tahu untung berkesudahan
  Tahu hidup berhingga-hingga
  Tahu mati berpada-pada
  Tahu asal mula jadinya
  Tahu bilik tempat baliknya”

ü  “Sifar hidup memegang amanah”,  yakni setia dan dapat dipercaya.

Di dalam ungkapan disebut:

“Taat pada petuah
  Setia pada sumpah
  Mati pada janji
  Melarat pada budi
  Kalau hidup memegang wakil
  Kalau mati memegang amanat”

ü  “Sifat benag orang”, yakni lurus, jujur, sesuai kulit dengan isinya.

Di dalam ungkapan disebut:

“Lurus tahan bidik
  Tengang tahan pandang
  Lurus bagi benang arang
  Sepadan takah dengan kokohnya
  Sepadan lenggang dengan langkahnya
  Sepadan ilmu dengan amalnya
  Sepadan laku dengan buatnya
  Sepadan cakap dengan perangainya
  Sesuai isi dengan kulitnya
  Sesuai lahir dengan batinnya”

ü  “Sifat tahan menantang matahari”, yakni berani dan rela berkorban dalam menegakkan keadilan dan kebenaran.

Di dalam ungkapan disebutkan:

“Tahan menentang matahari
  Tahan menepis mata pedang
  Tahan menyilang mata keris
  Tahan asak dengan banding
  Tahan capak dengan ugut
  Tahan bergelang tali terap
  Tahan berbedak dengan arang
  Tahan berbantal dengan tumang
  Yang berani pada haknya
  Yang kuat pada patutnya
  Yang keras pada adilnya”

ü  “Sifat tahu kelek dengan elek”, yakni bijaksana, arif, tanggap, dan cekatan.

Di dalam ungkapan disebut:

“Bijak menyimak kicau murai
  Bijak menjaring angin lalu
  Bijak menangkap kerling orang
  Bijak menepis mata pedang
  Bijak membuka simpul mati
  Pandai mengurung dengan lidah
  Pandai mengandang dengan cakap
  Pandai mengungkung dengan syarak
  Pandai mengikat dengan lembaga
  Cepat akal laju pikiran
  Cepat angan laju buatan”

ü  “Sifat menang dalam kalah”, yaknni rendah hati, sabat, lapang dada, dan berjiwa besar.

Di dalam ungkapan disebut:

“Yang menang dalam kalah
  Yang lapang dalam sempit
  Yang kaya dalam susah
  Lapang dada luas hati
  Lapangnya tak berhempang
  Luasnya tak terbatas
  Dalamnya tak berukur
  Banyaknya tak bersukat
  Beratnya tak bertimbang
  Cerdiknya tidak menjual
  Cerdiknya menjadi penyambung lidah
  Beraninya tidak melesi
  Berani menjadi pelapis dada
  Kuatnya tidak mematah
  Kuat menjadi tidak sendi
  Alimnya tidak menyalah
  Alim menjadi tempat bertanya”

ü  “Sifat tahan berkering”, yakni tabah, tahan menderita, giat, dan rajin bekerja.

Di dalam ungkapan disebut:

“Tahan kering tahan melempeng
  Tahan gilas tahan giling
  Kering tidak mengelokak
  Gilas tidak terlindas
  Mau bersakat atas kepala
  Mau mengekas dalam panas
  Mau disuruh sekali pergi
  Mau dihimbau sekali datang”

ü  “Sifat unjuk dengan beri”, yakni pemurah ,setia kawan, dan tidak mementingkan diri sendiri.

Di dalam ungkapan disebut:

“Pandai unjuk dengan beri
  Pandai menjalin gelegar patah
  Pandai menjirat lantai patah
  Pandai menampal liang dinding
  Rumahnya tidak berpintu
  Periuknya tidak bertudung
  Lapangnya dalam bersempit
  Manisnya dalam berpahit
  Yang searang sama dibagi
  Yang sekuku sama dibelah
  Yang secebis sama dicebis
  Yang secelis sama dicelis
  Yang sesuap sama dirasa
  Yang sepalit sama dicecah
  Kalau makan tidak sendiri
  Kalau Kenyan tidak seorang”

ü  “Sifat timbang dengan sukat”, yakni adil dan benar.

Di dalam ungkapan disebut:

“Sifat timbang sama beratnya
  Sifat sukat sama penuhnya
  Sifat belah sama baginya
  Sifat ukur sama panjangnya
  Sesuai sukat dengan timbangnya
  Sesuai belah dengan ukurnya
  Sesuai ukur sama panjangnya
  Sesuai penat dengan dapatnya
  Yang tinggi tidak menimpa
  Yang kuat tidak mematah
  Yang besar tidak meneladan
  Yang menang tidak melejin
  Bila duduk sama trendahnya
  Bila tegak sam tingginya
  Bila serupa boleh dilihat
  Bila perisa boleh dirasa
  Bila tangkai boleh dijunjung
  Bila tali boleh diseret”

ü  “Sifat tahu kan malu”, yakni menjaga aib malu, menjaga marwah dan tuah, tidak mau dipermalukan dan tidak mau pula mempermalukan orang.

Di dalam ungkapan disebut:

“Yang disebut sifat malu
  Malu membuka aib orang
  Malu menyingkap baju dibadan
  Malu mencoreng arang dikening
  Malu melanggaar pada syarak
  Malu berlanda pada adat
  Malu bertarung pada lembaga
  Harga garap pada asinnya
  Harga manusia pada malunya
  Tanda parang ada hulunya
  Tanda orang ada malunya
  Dari hidup menanggung malu
  Eloklah mati kena palu
  Kalau aib sudah menimpa
  Hidup di dunia tiada berguna”

ü  “Sifat yang bersifat”, yakni menjunjung tinggi nilai-nilai agama, budaya dan norma-norma sosial di dalam masyarakatnya, menghormati dan menghargai pribadi dan pendapat orang lain, serta arif dalam meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Di dalam ungkapan disebut:

“Yang disebut sifat bersifat
  Menjunjung syarak dengan adatnya
  Menjunjung undang dengan hukumnya
  Menjunjung marwah denga tuahnya
  Menjunjung tahu dengan ilmunya
  Yang penghulu di hulukan
  Yang alim diketengahkan
  Yang patut dipatutkan
  Yang hulubalang dibilangkan
  Yang cerdik dikemukakan
  Tunak menegur dengan sifatnya
  Tunak menyapa dengan adatnya
  Tunak menyimak dengan syaraknya
  Pandai memakai pada ukurnya
  Pandai meletak pada patutnya”

ü  “Sifat ingat dengan minat”, yakni ingat dan menaruh perhatian besar terhadap masyarakat dan lingkungannya, dinamis dan kreatif.

Di dalam ungkapan disebut:

“Ingatkan susur dengan galurnya
  Ingatkan dusun dengan kampungnya
  Ingatkan atap yang sebengkawan
  Ingatkan pisang goyang-goyang
  Ingat hidup dikandung adat
  Ingat mati dikandung tanah
  Ingat kan tiang yang terpalang
  Ingat kan batang yang melintang
  Ingat kan rumput yang menjemba
  Ingatkan lantai yang terjungkat
  Ingat kan tunjuk dengang ajar
  Ingat kan amanah dengan petuah
  Yang ingat tiada sukat
  Yang minat tiada bertempat
  Dari ingat timbul minat
  Darii minat timbul buah”

ü  “Sifat pinjam memulangkan”, yakni mempunyai pandangan jauh ke depan, berwawasan luas, serta bertekad bulat untuk mewariskan karya, jasa, dan nama baiknya.

Di dalam ungkapan disebut:

“Yang disebut hidup meninggalkan
  Meninggalkan contoh dengan teladan
  Meninggalkan adat dengan pusaka
  Meninggalkan sifat dengan buat
  Meninggalkan tunjuk dengan ajar
  Pandai mengunut langkah yang lalu
  Pandai membaca jejak yang lampau
  Pandai mencontoh pada yang sudah
  Bijak memandang berlapang-lapang
  Membaca buka membuka
  Pandang tidak berhempang
  Baca tidak berhingga
  Tahu kan hidup akan hutangnya
  Pantang mati sesat menyesatkan
  Hutang ke anak diselesaikan
  Hutang ke orang banyak diusaikan
  Hutang hidup disegerakan
  Hutang mati disempurnakan”

ü  “Sifar yang pucuk”, yakni sifat kepemimpinan yang baik, terpuji , bijaksana, adil, jujur, dan setia dan sebagainya, yang juga disebut “Sifat Tua”.

Di dalam ungkapan disebut”

“Yang disebut sifat yang pucuk
  Di adat menjadi pucuk adat
  Di hulukan menjadi pucuk penghulu
  Di majelis menjadi pucuk rundingan
  Di helat menjadi pucuk kata
  Di hilirkan menjadi pucuk lembaga
  Raja tidak membuang daulat
  Penghulu tidak membuang adat
  Hulubalang tidak membuang kuat
  Alim tidak membuang kitab
  Tukang tidak membuang bahan
  Cerdik tidak membuang cakap
  Tahu menyelesaikan rantau kusut
  Tahu menjernihkan tepian keruh
  Tahu menghapus arang di kening
  Tahu membayar hutang baris
  Tahu meniti mata pedang
  Tahu menurut alur patutnya
  Tahu belang dengan baginya
  Tahu had dengan batasnya
  Tahu sifat dengan tempatnya
  Tahu memutus dengan syarak
  Tahu menimbang dengan adat
  Tahu menyukat dengan lembaga
  Tahu mencencang dengan udang
  Putus tidak membinasakan
  Timbang tidak memberatkan
  Sukat tidak menyesatkan
  Cencang tidak mematikan
  Tahu menghitung-hitung diri
  Tahu membilang baying-bayang
  Tahu menilik angan-angan
  Yang berumah berpintu dua
  Pintu muka menjemput adat
  Pintu belakang menembus malu
  Yang berunding tidak berdinding
  Dinding terletak di orang banyak
  Yang bercakap tidak dipekap
  Kalau dipekap ada adatnya
  Yang kaya tempat meminta
  Yang tua tempat bertanya
  Yang tegak ditengah-tengah
  Ke kiri tidak melanda
  Ke kanan tidak mengena
  Kalau melanda dengan syarak
  Kalau mengena dengan adat
  Ke laur dia tak hanyut
  Ke darat dia tak sesat
  Ke hulu dia tak malu
  Ke hilir ia tak mungkir
  Besarnya tidak mengharap gelar
  Kecilnya tidak mengharap kasihan
  …………………………….dan seterusya”

            Sebenarnya, pada setiap bulir “Pakaian yang Delapan Belas” atau “Sifat yang Delapan Belas” itu terdapat berpuluh-puluh ungkapan yang lainnya yang memberikan penjelasan dan pemahamannya. Ungkapan-ungkapan itu, secara tuntas mengungkapkan nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam setiap butir acuan itu. Para pemangku dan pemuka adat dan orang rua-tua atau yang dituakan dalam masyarakatnya, umumnya mampu mengembangkan penafsiran setiap butir “Pakaian yang Delapan Belas” atau “Sifat yang Delapan Belas” itu dengan seluas-luasnya.
            Di dalam upacara-upacara adat, terutama upacara nikah kawin, ungkapan-ungkapan yang menjabarkan “Pakaian yang Delapan Belas” atau “Sifat yang Delapan Belas” itu selalu diketengahkan sebagai “Nasehat perkawinan” oleh orang yang dituakan dalam perhelatan itu, yang disebut “Memberi tunjuk ajar” kepada pengantin.
            Tradisi ini lebih menunjukkan lagi, betapa orang melayu amat memperhatikan anak dan kelahirannya, adanya “Tunjuk ajar” itu menyebabkan kedua pengantin lebih memahami lagi, bahwa anak yang di idam-idamkan oleh masyarakat, yang dipuji oleh adat dan tradisinya, ialah anak yang menjadi”orang”, yakni menjadi manusia yang sempurna lahiraiah dan batiniahnya. Anak inilah yang patut disebut sebagai idola citra anak menurut acuan budaya Melayu.

            Atau dengan kata lain, anak yang pada dirinya bersebati dan melekat nilai-nilai luhur dari ”Pakaian yang Delapan Belas” atau “Sifat yang Delapan Belas” itulah yang patut disebut sebagai idola citra anak dalam budaya Melayu. Sebab di sanalah berpuncaknya harapan mereka terhadap anak.

No comments:

Post a Comment

Semoga bermanfaat dan mohon dukungannya serta bantuannya.
#Salam sukses

+ Follow this blog
Join on this site

with Google Friend Connect